BSCpGUY5BSM7TpClGSGoTUCiBA==

Urgensi Penerapan Asas Piercing the Corporate Veil di Indonesia.


Oleh: Michael Anshori, S.H., M.H.

Tirai Pelindung yang Bisa Ditembus

Dalam hukum korporasi modern, salah satu prinsip utama yang selalu dijunjung adalah pemisahan kepribadian hukum antara badan hukum dan pemiliknya. Prinsip ini, yang dikenal sebagai separate legal personality, memastikan bahwa pemegang saham atau pengurus tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas utang atau kewajiban perseroan, kecuali sebatas nilai saham yang dimilikinya.

Namun, dalam praktik, prinsip ini kerap disalahgunakan. Banyak kasus di mana perseroan dijadikan perisai untuk melakukan penipuan, pencucian uang, atau penggelapan aset. Di sinilah asas Piercing the Corporate Veil menjadi penting. Sebuah doktrin hukum yang memungkinkan pengadilan “menembus” perlindungan badan hukum untuk meminta pertanggungjawaban langsung kepada individu di baliknya.

Mengungkap Siapa di Balik Perseroan

Secara sederhana, Piercing the Corporate Veil adalah langkah hukum yang menyingkap siapa sebenarnya yang mengendalikan perseroan dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Doktrin ini lahir dari kebutuhan untuk melindungi pihak ketiga dan menjaga integritas sistem hukum, terutama ketika badan hukum dipakai untuk tujuan yang tidak sah.

Di Indonesia, istilah ini memang tidak disebut secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, namun substansinya diakomodasi dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Ketentuan tersebut mengatur bahwa pembatasan tanggung jawab tidak berlaku jika pemegang saham atau pengurus:

1. Tidak memenuhi persyaratan badan hukum         perseroan.

2. Bertindak dengan itikad buruk untuk                       kepentingan pribadi.

3. Terlibat langsung dalam perbuatan melawan         hukum oleh perseroan.

4. Menggunakan kekayaan perseroan secara             tidak sah hingga merugikan kreditor.

Saat Pengadilan Berani Menembus Tirai

Penerapan doktrin ini di Indonesia masih jarang, namun beberapa kasus menunjukkan keberanian pengadilan menembus tirai korporasi. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 375 K/Pdt.Sus-Pailit/2012, di mana direksi dimintai tanggung jawab pribadi atas utang perseroan karena terbukti menyalahgunakan perseroan untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang, aparat penegak hukum mulai memanfaatkan konsep ini untuk menelusuri aliran dana yang disembunyikan melalui perusahaan cangkang (shell company).

Pelajaran dari Inggris dan Amerika

Di Inggris, doktrin ini diterapkan secara hati-hati, terutama setelah putusan Prest v. Petrodel Resources Ltd \[2013] UKSC 34 yang menegaskan bahwa penembusan tirai korporasi hanya sah jika terbukti ada penyalahgunaan untuk menghindari kewajiban hukum.

Sementara di Amerika Serikat, penerapan doktrin ini lebih luas, dengan berbagai pendekatan seperti alter ego doctrine atau instrumentality rule, yang menilai hubungan antara pemilik dan korporasi untuk menentukan tanggung jawab pribadi.

Tantangan di Tanah Air

Beberapa tantangan utama penerapan Piercing the Corporate Veil di Indonesia antara lain:

  • Minimnya yurisprudensi, yang konsisten sebagai acuan.
  • Kesulitan pembuktian, keterlibatan langsung pemilik atau pengurus dalam perbuatan melawan hukum.
  • Kurangnya kesadaran korporasi, tentang kewajiban transparansi kepemilikan

Mengapa Asas Ini Mendesak Diterapkan

Penerapan Piercing the Corporate Veil memiliki urgensi tinggi untuk:

1. Menutup celah hukum yang dimanfaatkan            pelaku kejahatan korporasi.

2. Melindungi kreditor dan pihak ketiga dari            kerugian yang disengaja.

3. Meningkatkan transparansi korporasi sejalan      dengan kebijakan beneficial ownership.

Agar efektif, diperlukan:

"Pedoman yudisial" yang jelas bagi hakim dan penegak hukum.

"Koordinasi antar lembaga" seperti OJK, PPATK, dan Kemenkumham.

"Peningkatan literasi hukum korporasi" bagi pelaku usaha.

Demi Keadilan, Tirai Harus Dibuka

Asas Piercing the Corporate Veil adalah instrumen penting untuk menjaga agar kepribadian hukum perseroan tidak disalahgunakan. Meskipun penerapannya di Indonesia masih terbatas, penguatan penerapan doktrin ini akan membawa dampak positif dalam mencegah kejahatan korporasi, melindungi kepentingan publik, dan menjaga keadilan hukum.

Di era ekonomi global yang kompleks, Indonesia perlu berani menembus tirai korporasi demi memastikan hukum tetap menjadi alat untuk kebenaran, bukan tameng bagi pelaku penyalahgunaan. (Red.001)



Comments0

Type above and press Enter to search.