Mataram, dialogmandalika.com (11/10)— Sidang Putusan Pengadilan Tipikor yang memutuskan 8 tahun penjara yang dijatuhkan kepada mantan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Ir. H. Rosiady Husaeni Sayuti, M.Sc., Ph.D., dalam perkara dugaan korupsi proyek pembangunan NTB Convention Center (NCC) menimbulkan pertanyaan besar tentang cara hukum ditegakkan di negeri ini. Bukan hanya karena beratnya hukuman, tetapi karena vonis itu berdiri di atas sesuatu yang bahkan belum nyata, kerugian negara yang hanya “potensi”.
Usai sidang, Rosiady tampil tenang namun tajam dalam pernyataannya mengamati putusan pengadilan yang menurutnya kemungkinan perlu akan dilakukan pengujian, pasalnya masih terasa belum memenuhi asas keadilan pada dirinya.
“Saya akan pikir-pikir dulu. Nanti kami diskusikan dengan kuasa hukum, apakah akan banding atau tidak. Semua ini bagian dari takdir saya,” ujarnya di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (10/10/2025).
Dalam pledoinya, Rosiady berulang kali menegaskan bahwa proyek kerja sama pembangunan NCC antara Pemprov NTB dan PT Lombok Plaza tidak menggunakan satu rupiah pun uang negara, baik dari APBD maupun APBN.
Yang disebut “kerugian negara” dalam dakwaan jaksa hanyalah potensi kerugian dari kewajiban yang belum dibayar oleh pihak swasta.
“Pekerjaan ini 100 persen tidak memakai dana APBD. Jadi kerugian negara yang disebut tadi hanyalah potensi, bukan kerugian nyata,” tegasnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan skema perjanjian Bangun Guna Serah (BGS), PT Lombok Plaza masih memiliki waktu hingga tahun 2046 untuk menyelesaikan kewajibannya.
“Kalau hari ini PT Lombok Plaza punya uang dan melunasi kewajibannya, ya selesai masalahnya. Ini bukan korupsi, ini urusan perdata,” ujarnya lugas.
Rosiady juga mengungkapkan bahwa selama menjabat Sekda, dirinya telah dua kali menagih kewajiban perusahaan. Setelah dirinya tidak lagi menjabat pada 2019, tanggung jawab itu seharusnya dilanjutkan oleh pejabat penggantinya.
“Saya berhenti jadi Sekda tahun 2019. Kalau dirunut siapa yang bertanggung jawab setelah itu, ya Sekda yang menjabat pada 2019. Majelis hakim tidak tegas menjelaskan hal itu,” katanya.
Dirinya pun mempertanyakan logika putusan hakim yang tidak menemukan aliran dana, tidak menemukan pihak yang diperkaya, namun tetap menghukum 8 tahun penjara.
“Kalau pun saya dianggap melanggar, itu hanya pelanggaran Permendagri, bukan undang-undang. Permendagri tidak mengatur sanksi pidana, hanya administratif,” jelasnya.
Penasihat hukum Rosiady, Rofiq Ashari, juga dengan tegas menyatakan bahwa putusan ini tidak berdiri di atas fakta hukum yang kuat, sebab tidak ada kerugian negara yang terbukti secara nyata.
“Dalam perkara ini, tidak ada satu rupiah pun uang negara keluar. Itu sudah diakui oleh para ahli keuangan negara dan ahli pidana dalam sidang,” ujarnya.
Rofiq membandingkan dengan kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang divonis hanya 4 tahun 6 bulan meski kerugian negaranya mencapai Rp194 miliar.
“Bandingkan saja, kasus Tom Lembong dengan kerugian negara nyata saja hukumannya lebih ringan. Sementara Pak Rosiady, yang bahkan tidak ada kerugian negara, dihukum 8 tahun. Di mana letak keadilannya?” tegas Rofiq.
Rosiady menolak anggapan bahwa dirinya dikriminalisasi, namun mengakui ini bentuk perbedaan tafsir hukum yang dipidanakan.
“Aset itu berada di bawah Dinas Kesehatan NTB, bukan BPKAD. Jadi sesuai Permendagri, Sekda berwenang menandatangani PKS dalam hal seperti ini. Saya tidak melanggar ketentuan itu,” ujarnya.
Menurutnya, penggunaan ahli untuk menyimpulkan bahwa “tidak bayar sama dengan kerugian negara” adalah bentuk penyimpangan logika hukum. “Itu yang kami kritisi dalam pembelaan. Karena tidak semua yang belum dibayar otomatis disebut kerugian negara,” kata Rosiady.
Faktanya, tidak ada uang negara keluar, tidak ada aset negara yang hilang, tidak ada aliran dana kepada dirinya, dan tidak ada bukti memperkaya siapa pun. Namun, potensi kerugian justru dijadikan fondasi vonis pidana berat.
Kasus Rosiady kini telah bergeser dari ruang sidang ke ruang publik. Banyak pihak menilai, vonis ini bukan hanya soal satu orang birokrat, tapi soal iklim hukum dan investasi di daerah. Jika kesalahan administratif dan perbedaan tafsir dapat dijadikan dasar pidana korupsi, maka setiap pejabat publik berisiko dikriminalisasi hanya karena tanda tangan kebijakan.
Rosiady sendiri mengaku masih akan mempertimbangkan langkah banding. “Kami akan pikir-pikir. Tapi saya percaya, kebenaran tidak akan bisa disembunyikan selamanya,” ujarnya.(Ad - 001)
Comments0