BSCpGUY5BSM7TpClGSGoTUCiBA==

Perang Topat - Tradisi Pujawali, bentuk penghormatan sekaligus pengingat atas jejak spiritual sang wali.

 


Lombok Barat, dialogmandalika.com (5/12) - Tradisi Perang Topat kembali digelar di kawasan Kemalik Lingsar, Desa Lingsar, Lombok Barat, Kamis (4/12/2025). Ribuan warga memadati area pura dan kemalik untuk menyaksikan salah satu ritual budaya paling unik di Nusa Tenggara Barat, yang selama berabad-abad menjadi simbol kuat toleransi antara masyarakat Sasak dan Hindu Bali.

Prosesi dimulai sejak pagi melalui rangkaian Upacara Pujawali di Kemalik, petilasan Datu Milir, tokoh penyebar ajaran pada masa Kedatuan Medayin. Menurut penuturan warga, Kemalik Lingsar telah ada sejak era kerajaan kuno tersebut dan disakralkan setelah Datu Milir dikisahkan menghilang saat bersemedi. Tradisi Pujawali kemudian lahir sebagai bentuk penghormatan sekaligus pengingat atas jejak spiritual sang wali.

Di bagian atas kompleks Kemalik berdiri Pura Gaduh, yang menurut catatan sejarah dibangun sekitar tahun 1741. Ada pula versi yang menyebutkan pura tersebut baru didirikan pada masa Mataram sekitar 1856, beriringan dengan pembangunan Taman Narmada. Meski dibangun pada masa berbeda, keberadaan pura di tengah wilayah yang sejak awal identik dengan masyarakat Sasak menjadi bukti nyata penerimaan dan penghormatan lintas keyakinan yang terjaga hingga kini.

Setiap tahun, Pujawali di Kemalik berlangsung bersamaan dengan Odalan di Pura Gaduh. Kedua rangkaian upacara tersebut kemudian dipersatukan dalam prosesi puncak: Perang Topat.

Ketua Dinasti Nusantara NTB, Lalu Maspanji Satria Wangsa, menjelaskan bahwa Perang Topat merupakan ritual saling lempar ketupat antara umat Sasak dan Hindu Bali. “Alih-alih bermakna permusuhan, prosesi ini adalah simbol kegembiraan, rasa syukur, dan harapan atas keberkahan. Ketupat yang dilempar diyakini membawa tuah baik. Bahkan sebagian warga memungutnya untuk ditanam di sawah sebagai doa atas hasil panen yang melimpah,” jelasnya.

Ia menambahkan, tradisi ini lahir sebagai bentuk rapah atau perdamaian setelah terjadinya pergolakan besar di Lingsar. Pada tahun 1855, masyarakat Menjeli yang dipimpin Amaq Salam sempat menyerang Puri Mataram. Meski berhasil menguasai balairung puri, pasukan Menjeli akhirnya ditumpas dan desa mereka dibumihanguskan, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat.

“Untuk menghapus ketegangan itu, masyarakat Sasak dan Hindu Bali sepakat menjadikan Perang Topat sebagai media penyatu. Sejak saat itulah ritual ini digelar setiap tahun sebagai simbol rekonsiliasi dan identitas budaya Lingsar,” tutup Miq Wangsa.

Tradisi Perang Topat menjadi contoh kearifan masyarakat Sasak dalam mengolah sejarah kelam menjadi prosesi budaya yang penuh kegembiraan. Pola serupa juga tampak pada tradisi lainnya seperti Perang Timbung di Pejanggik dan Bau Nyale, yang tidak hanya melestarikan peristiwa bersejarah, tetapi juga memperkuat solidaritas masyarakat.

Pelaksanaan Perang Topat tahun ini kembali membuktikan bahwa harmoni antarumat dapat hidup dan bertahan apabila dirawat bersama. Di tengah perbedaan adat dan keyakinan, masyarakat Sasak dan Hindu Bali di Lingsar menunjukkan bahwa toleransi bukan sekadar warisan leluhur, melainkan komitmen yang terus dijaga lintas generasi. (Z-008)

Comments0

Type above and press Enter to search.